Beranda | Artikel
Talbis Iblis terhadap Kaum Sufi dalam Masalah Ilmu
Selasa, 12 Desember 2023

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Talbis Iblis terhadap Kaum Sufi dalam Masalah Ilmu ini adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 28 Jumadal Ula 1445 H / 11 Desember 2023 M.

Talbis Iblis terhadap Kaum Sufi dalam Masalah Ilmu

Ibnul Jauzi Rahimahullah mengatakan bahwa beliau melihat beberapa orang mulia dari kalangan ulama-ulama sunnah di berbagai negeri tidak menempuh kaum Sufi ini. Mereka justru menyibukkan diri dengan mencari ilmu terlebih dahulu, kemudian proses tazkiyatun nufus itu berjalan beriringan dengan proses menuntut ilmu. Sementara pendekatan kaum Sufi mendahulukan tazkiyatun nufus dan meninggalkan ilmu. Menurut mereka, ilmu akan datang setelah proses ini sempurna.

Jika mengacu pada kaidah mereka ini, seperti yang dikatakan oleh Abu Hamid Al-Ghazali sebelumnya, maka jiwa akan fokus sepenuhnya dengan segala was-was dan asumsi-asumsi. Tidak ada ilmu di dalamnya yang mampu untuk menangkal was-was dan persangkaan itu. Akibatnya adalah, Iblis benar-benar mampu mempermainkan jiwa mereka sesukanya. Mereka mengira bahwa proses tazkiyatun nufus adalah jalan menuju ilmu. Ini adalah suatu hal yang agak sulit. Karena bagaimana seseorang dapat melakukan proses tazkiyatun nufus tanpa ilmu? Sementara para ulama, seperti yang kita sebutkan sebelumnya, mereka mendahulukan menuntut ilmu. Kemudian, mereka menjalankan proses tazkiyatun nufus seiring dengan proses menuntut ilmu.

Tazkiyatun nufus itu harus dilakukan dan tidak bisa dilakukan dengan serta-merta. Artinya, kita langsung bisa menyucikan jiwa dalam waktu setahun, dua tahun, atau beberapa tahun? Ini adalah proses sepanjang hidup, seiring dengan kadar iman yang naik turun.

Sementara itu, ilmu adalah sesuatu yang mutlak kita perlukan untuk bisa membedakan mana was-was setan, dan mana wahyu, dan mana asumsi? Tanpa ilmu, kita tidak mampu menangkal, membedakan, dan mengidentifikasi ini hak atau batil. Bahkan, kita bisa menelan bulat-bulat syubhat yang dilontarkan oleh Iblis. Sampai-sampai Iblis bisa memperlihatkan was-was kepada kita sebagai suatu ilmu yang ilmiyyah.

Mereka yang melakukan tazkiyatun nufus (tanpa belajar) menganggap mendapatkan ilmu, padahal yang ia dapat adalah syubhat. Karena dia tidak punya sensor lagi untuk membedakan mana yang syubhat dan mana ilmu.

Memang tidak dipungkiri bahwa, manakala hati kita bersih, maka cahaya-cahaya ilmu akan tertuang di dalamnya. Artinya bahwa menuntut ilmu perlu modal berupa hati yang bersih. Namun, hati yang bersih semata-mata itu tidak akan bisa mendatangkan ilmu jika tidak belajar. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ

“Sesungguhnya ilmu itu hanya dapat diraih dengan belajar, sedangkan hilm (kesabaran dan ketenangan) hanya didapatkan dengan melatih diri.” (Silsilah Ash-Shahihah no: 342)

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan bahwa jalan ilmu itu “dengan belajar” bukan dengan tazkiyatun nufus semata.

Hanya saja, membersihkan hati, juga harus sesuai dengan petunjuk ilmu, bukan dengan sesuatu yang justru malah menafikannya. Karena tazkiyatul nufus yang dilakukan oleh kaum Sufi dengan lapar yang luar biasa, menyiksa diri, mengurung diri berhari-hari, tidak tidur secara berlebihan, kemudian hanyut dalam asumsi-asumsi, ini semua adalah hal yang dilarang dalam syariat. Jika demikian, bagaimana dia bisa menuntut ilmu kalau mengurung diri dan kelaparan luar biasa? Jadi, ini suatu hal yang justru bertentangan dengan menuntut ilmu itu sendiri.

Di samping itu, kita tidak boleh melek terus-menerus tanpa tidur. Kesehatan tubuhnya akan terganggu. Mungkin saja dia bisa celaka, binasa, karena tidak tidur. Maka Nabi mencela orang-orang yang shalat terus-menerus tanpa tidur. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:

… وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ…

“Aku shalat (malam) tapi aku juga tidur.” (HR. Bukhari, Muslim dan yang lainnya)

Jadi, artinya, proses tazkiyatun nufus itu juga harus dengan ilmu, bukan berdasarkan asumsi, lalu dia mengatakan: “Jiwa saya ini sudah bersih.” Lalu bagaimana dia dapat mengetahui jiwanya sudah bersih?

Kadang-kadang begitulah manusia yang tidak bisa mencium baunya sendiri. Sehingga merasa suci tanpa kesalahan. Makanya, orang-orang seperti ini biasanya suka membantah. Hal ini bahkan bisa menimpa orang-orang yang berilmu. Kalaulah orang-orang yg berilmu bisa jatuh dalam hal seperti ini, bagaimana orang yang tidak berilmu? Sementara Allah mengatakan:

… قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ…

“Apakah sama orang yang tahu dan orang yang tidak tahu?” (QS. Az-Zumar[39]: 9)

Orang yang tahu saja tidak ada jaminan, lalu bagaimana orang yang tidak tahu? Maka lebih jauh lagi tersesatnya.

Kemudian Ibnul Jauzi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan bahwa antara belajar dengan olah jiwa sama sekali tidak saling menafikan. Artinya, penuntut ilmu itu juga perlu tazkiyatun nufus, bahkan sangat penting. Itu merupakan salah satu faktor keberhasilan seorang penuntut ilmu. Dia tidak boleh mengabaikan tazkiatun nufus. Justru, ilmu mengajarkan cara olah jiwa dan pembersihan hati yang benar, dan membantu untuk meluruskannya.

Makanya para ulama dahulu, mereka mendahulukan menuntut ilmu dan melakukan proses tazkiyatun nufus seiring dengan proses mereka menuntut ilmu. Mereka tidak membiarkan salah satu tanpa keduanya. Jika belajar saja tanpa tazkiyatun nufus atau atau sebaliknya, ini pasti gagal dan akan menjadi bencana. Ilmu akan menjadi bencana jika tidak diiringi dengan tazkiyatun nufus. Adapun tazkiyatun nufus tanpa ilmu juga bencana, karena bisa saja dia sesat, setan akan leluasa mempermainkannya.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/53686-talbis-iblis-terhadap-kaum-sufi-dalam-masalah-ilmu/